PENDIDIKAN ATAU PENGAJARAN?
Pendidikan bukanlah sekadar pengajaran. Makin dasar jenjang
sekolah, maka makin besar peran pendidikan. Pendidikan menanamkan hasrat ingin
tahu, eksploratif, berpikir kreatif, bukan sekedar memori salah dan benar.
Menurut Psikolog Sartono Mukadis, kelalaian pada fase
pendidikan dasar akan berdampak pada tingkat perguruan tinggi atau dunia kerja.
Pada tingkat SD hingga SMA, siswa mengalami proses pendidikan, meski dengan
bobot yang berbeda. Di perguruan tinggi, tak ada lagi pendidikan, hanya
pengajaran.
Dalam proses pengajaran, dosen hanya mentransfer ilmu yang
mereka punya dan menanamkan hasrat ingin tahu. Bukan lagi satu tambah satu sama
dengan dua, tapi kenapa harus ada satu tambah satu metode perhitungan lainnya.
“Siswa harus diajak berpikir kreatif, tidak mentok atau
buntu. Pendidikan dasar menentukan mutu SDM bangsa secara keseluruhan.
Penanaman nilai-nilai harus dimulai sejak pendidikan dasar, bukan sebagai
materi pengajaran yang kaku, tapi sebagai falsafah pendidikan nasional itu
sendiri.”
Setiap insan pendidikan, katanya, adalah bagian integral
dari proses penanaman nilai tersebut, tak mungkin segmentaris atau terpisah.
Sartono menegaskan bahwa budi pekerti tak bisa dipisahkan dari pendidikan.
“Jangan ada pemisahan pelajaran budi pekerti,” tuturnya. Semua guru SD adalah
guru budi pekerti dan itu harus dilakukan dengan tindakan.
Sebagai contoh, jangan ada guru olahraga yang hanya menyuruh
muridnya berlari di lapangan, tapi dia sendiri berteduh di bawah pohon. “Selama
ini, anak diajarkan untuk membantu jika ada nenek yang mau menyeberang jalan.
Saya bilang ke anak, nanti dulu. Apakah nenek itu memang mau menyeberang? Kalau
dia mau ke jalan yang jauh bagaimana? Kan mending naik taksi. Jadi, si anak
harus berkomunikasi dulu dengan nenek itu. Buat dia mempertanyakan semuanya.”
Selain itu, Sartono juga menegasakan kesalahan terbesar dari
sistem pendidikan, yaitu adanya ranking prestasi. “Ini adalah bentuk pengkhianatan
paling jahat yang dilakukan manusia,” katanya. Kenapa? Karena ranking hanya
menghargai hasil akhir, bukan proses.
Kejahatan lainnya adalah membandingkan anak dengan orang
lain. Harusnya, anak dibandingkan dengan diri sendiri. Seringkali ada sekolah
unggulan yang melakukan psiko tes dalam penyaringan siswa. Hal itu, tegasnya,
sama saja dengan peternakan yang memang sudah memilih bibit yang bagus. “Jadi
wajarlah kalau hasilnya bagus. Harusnya sekolah bangga kalau memilih anak yang
biasa saja tapi bisa dididik jadi pintar.”
Sistem pendidikan yang ada saat ini rupanya menghasilkan
manusia Indonesia yang hanya senang menonton, bukannya menolong. “Kita ini
adalah bangsa yang senang menjual kesedihan dan jika ada yang sukses kita
selalu menggunakan terangajaisme. Terang aja dia sukses bapaknya kaya atau
sebagaimanya. Padahal, kita tak mau melihat bagaimana proses hingga dia
sukses.”
https://makalahpendidikan.wordpress.com/2010/01/11/pendidikan-atau-pengajaran/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar